Teror Malam jumat
Saat itu baru setengah sebelas malam, hujan gerimis membasahi malam Jumat sejak Magrib. Ngaliyan malam itu begitu dingin dan senyap. Penghuninya sudah terlelap.
Tapi entah kenapa Parmin susah memejamkan mata. Diambilnya rokok, berharap dapat hawa melawan dingin. Parmin duduk di ruang tamunya yang temaram.
Dihisap dalam-dalam batang rokok pertamanya. Detak jam dinding mengiringi kepulan asap dari mulut Parmin. Sesekali Parmin melongok ke jendela kaca, menyibak sedikit tirainya. Masih gerimis dan sepi, tak ada seorangpun lewat.
Batang rokok kedua diambilnya. Parmin kembali menyalakan rokok dan menghisapnya. Kembali pandangannya tertuju ke kaca jendela. Kali ini Parmin mendapati cahaya yang berjalan dari ujung gang.
Kebetulan rumah Parmin pada posisi tusuk sate, tepat di depan gang. Kakek Parmin yang mewariskan rumah itu berpesan agar setiap malam Jumat menaruh sebutir telur dan kembang setaman di depan pintu. Menurut sang kakek, rumah tusuk sate kerap menjadi jujugan lelembut.
Cahaya kian mendekat, ke arah rumah Parmin. Tapi kepulan asap rokok menghalangi pandangan Parmin. Ia kibaskan tangannya mengusir asap. Pandangannya dari balik kaca jendela sedikit lebih jelas, sekaligus membuat jantungnya berdegub.
Dilihatnya sepasang kuda putih menarik kereta, diatasnya duduk perempuan berbaju putih, rambutnya panjang menjuntai. Memakai mahkota.
Darah Parmin berdesir, keningnya mulai berkeringat. Pikir Parmin, tak mungkin kalau itu orang. Apalagi tetangganya. “Masak iya ada yang punya kuda? Ini pasti lelembut yang dimaksud Mbah Kakung,” batinnya.
Degub jantung Parmin kian kencang saat didengar suara gemerincing dan cahaya makin dekat.
Darah Parmin berdesir, keningnya mulai berkeringat. Pikir Parmin, tak mungkin kalau itu orang. Apalagi tetangganya. “Masak iya ada yang punya kuda? Ini pasti lelembut yang dimaksud Mbah Kakung,” batinnya.
Degub jantung Parmin kian kencang saat didengar suara gemerincing dan cahaya makin dekat.
Parmin mulai bimbang, tetap menatap lelembut itu hingga mengambil sesajen yang sore tadi diletakkannya di depan pintu. Atau masuk saja ke kamar.
Tapi akhirnya Parmin memutuskan meladeni penasarannya. “Seperti apa rupa lelembut yang diceritakan Mbah Kakung? Apa seperti ratu laut selatan yang ada di film? Mungkin memang itu, ya benar,” batin Parmin mengoceh, tapi ia gemetaran.
Tapi akhirnya Parmin memutuskan meladeni penasarannya. “Seperti apa rupa lelembut yang diceritakan Mbah Kakung? Apa seperti ratu laut selatan yang ada di film? Mungkin memang itu, ya benar,” batin Parmin mengoceh, tapi ia gemetaran.
Suara gemerincing semakin jelas, cahaya kian mendekat, tapi sayang gerimis menjadi hujan agak lebat. Pandangan Parmin kian terhalang. Tapi rasa penasarannya kian membuncah. Akhirnya Parmin memberanikan diri beranjak dari duduknya di dekat jendela dan membuka pintu.
“Krincing .. krincing .. krincing..” makin jelas. Pintu terbuka, hujan bertambah lebat. “Krincing..krincing,” … Parmin tertegun.
“Krincing .. krincing .. krincing..” makin jelas. Pintu terbuka, hujan bertambah lebat. “Krincing..krincing,” … Parmin tertegun.
“Sate mas? Sekalian saya numpang berteduh di teras ya mas” kata lelaki yang sedari tadi mendorong gerobak satenya dari ujung gang.
Tukang sate menutup payung yang lekat di gerobak dan membuka jas hujan biru mudanya.
Tukang sate menutup payung yang lekat di gerobak dan membuka jas hujan biru mudanya.
“Aseeeeeeeeeeeeem!!!” teriak Parmin dalam hati, sambil menyeka keningnya yang basah. “Monggo mas, saya mau tidur,” Parmin menguap menuju kamar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar